Tafsir Surat Al-Fatihah Bag. 2

Catatan ilmu ini melanjutkan Tafsir Surat Al-Fatihah Bag. 2 yang sebelumnya sudah ditulis pada tanggal 1 Sya’ban. Silahkan baca bagian pertama pada Tafsir Surat Al-Fatihah ini.

Makna al-Ibadah secara bahasa (etimologi) adalah ketundukan dan menghinakan diri kepada Allah. Sedangkan makna secara istilah Syar’I (terminologi) adalah kalimat yang tergabung pada sebuah ungkapan yang menggabungkan 3 hal:

  1. Kesempurnaan cinta kepada Allah.
  2. Ketundukan dan kepatuhan kepada Allah.
  3. Rasa takut kepada Allah.

Kata “Iyyaka” diletakan di awal dengan makna yang sangat dalam dan artinya adalah “hanya kepadamu”. Apabila sebuah kata yang seharusnya berada di belakang (maf’ulun bihi/ objek) namun dipindahkan ke depan maka bermakna pembatasan.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa pada ayat inilah yang menjadi inti dari surat Al-Fatihah karena di dalamnya ada Tauhid Uluhiyah. Pada ayat ini adanya pengikraran terhadap Tauhid Uluhiyah. Kata “Iyyaka na’budu” menunjukan ketaatan yang sempurna kepada Allah.

Ayat 6
Pembukaan (Al-Fātiĥah):6 – Tunjukilah kami jalan yang lurus,

Ayat ini murni khusus untuk hambanya. Sebelumnya pada ayat 1 sampai dengan ayat ke 4 adalah murni untuk Allah dan ayat ke-5 mulai terbagi untuk Allah dan hamba-Nya.

Ada hikmah di dalam surat Al-Fatihah ini bahwa ketika kita akan berdoa , maka sebelumnya kita dianjurkan untuk memuji Allah dengan sebaik-baik pujian. Setelah itu baru kita meminta apa yang menjadi keinginan kita.

Kata “Ihdina” bermakna tunjukanlah kami. Kata kami adalah untuk kaum muslimin bukan untuk sendiri. Ini bukti rasa kasih sayang terhadap sesama kaum mukminin. Di dalam setiap doa selalu sertakan kebaikan untuk kaum muslimin dimanapun berada.

Makna al-Hidayah (petunjuk) yang diminta ada 2 (dua) yaitu Hidayah Taufiq dan Hidayah Al-Irsyad. Hidayat Taufik agar bisa beramal dan istiqomah. Hidayah al-Irsyad agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Ibnu Katsir mengatakan bahwa meskipun kita sudah memeluk Islam sejak lahir namun tetap meminta hidayah agar istiqomah dalam ketaatan.

Kita meminta “Jalan yang lurus”. Ibnu Katsir mengatakan bahwa para ahli bahasa sepakat bahwa jalan yang lurus adalah jalan yang jelas, benar, haq dan tidak ada kebengkokan. Beberapa ulama tafsir yang lain memiliki makna yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan Al-Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad shalallahu ‘akaihi wassalam dan 2 orang shahabatnya yakni Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Juga ada yang mengatakan jalan yang lurus itu adalah Al-Haq yaitu kebenaran. Ini termasuk perbedaan yang beraneka ragam dan tidak bertolak belakang.

Baca juga Tafsir Surat Al-Ikhlas

Ayat 7
Pembukaan (Al-Fātiĥah):7 – (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Ayat yang menjelaskan permintaan kita kepada Allah ta’ala pada ayat sebelumnya. Siapa yang Allah berikan nikmat? Disebutkan pada surat An-Nisa ayat 69-70.

Wanita (An-Nisā’):69 – Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.

4 (empat) golongan yang diberikan jalan yang lurus berdasarkan pada ayat di atas yaitu:

  1. Para Nabi.
  2. Orang-orang yang berkata benar.
  3. Para syuhada.
  4. Para orang shalih.

Kemudian pada ayat yang sama kita minta juga untuk dijauhkam dari 2 (dua) jalan yaitu:

  1. Jalan yang Allah murkai
  2. Jalan yang Allah sesatkan.

Jalan orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang yang rusak niatnya, mereka mengetahui kebenaran tapi tidak diamalkan. Mereka adalah Yahudi. Sedangkan jalan orang-orang yang Allah sesatkan adalah orang yang tidak punya ilmu tapi beramal. Artinya beramal tanpa didasari dengan ilmu. Mereka adalah Nasrani.

Jalannya orang yang beriman adalah berilmu dan beramal. Orang Yahudi kehilangan amal dan Nasrani kehilangan ilmu.

Bid’ah itu adalah beramal tanpa ilmu. Ini yang berkata adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di dalam hadist yang shahih.

Setelah membaca surat Al-Fatihah maka katakan “Aamiin” yang bermakna Ya Allah kabulkanlah. Disunnahkan dibaca di luar sholat dan ketika sholat sangat dianjurkan. Barangsiapa di dalam sholat kemudian mengatakan Aamiin berbarengan dengan ucapan para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya. Terdapat pada hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim.

SELESAI
SEMOGA BERMANFAAT

Ditulis pada tanggal 29 Shaban 1440H
Di Masjid Ar-Rahmat Slipi JakBar
Pemateri Ust. Hamzah Abbas Lc.

Spread the love